Selasa, 12 Maret 2013

Penurunan "Parhata" Di Ulaon Ni Halak Batak

Dalam upacara adat batak, sering kita dengar istilah "Parhata". Parhata (juru bicara) dalam upacara adat batak memegang suatu peran yang sangat penting demi kelangsungan upacara adat. Parhata inilah yang akan menyampaikan keinginan dari pihak tertentu sesuai dengan adat yang berlaku di daerah masing-masing.
Parhata harus tahu betul adat istiadat yang berlaku. Paling tidak adat istiadat yang berlaku di daerah pihak yang dia wakilkan (Adat di beberapa daerah bisa berbeda dengan daerah lain walaupun masih dalam lingkungan suku batak). Parhata juga harus santun saat berbicara dan mengetahui letaknya (yang diwakilkan). Tutur kata yang santun ini maksudnya adalah sesuai dengan etika berbicara dan tetap mengingat Dalihan Na Tolu serta tetap bertindak sesuai dengan ajaran nenek moyang suku batak.

Hingga sampai saat ini, upacara adat batak masih menggunakan Parhata. Sebagai contoh yang paling sering kita jumpai adalah dalam upacara pernikahan batak. Dari sekian banyak orang yang ada di upacara adat perkawinan batak, baik dari pihak hasuhuton (pihak laki-laki) maupun pihak hula-hula (pihak perempuan) yang menjadi penghubung komunikasi kedua belah pihak adalah dua orang yang di sebut Parhata yaitu Parhata dari Hasuhuton dan Parhata dari Hula-hula. 

Siapa sebenarnya Parhata itu?
Dua pihak dalam upacara adat perkawinan yaitu Hasuhuton dan Hula-hula menggunakan jasa Parhata. Dahulu, Parhata dalam upacara adat perkawinan batak adalah anggota keluarga dekat dari kedua belah pihak. Tetapi pada saat ini, suku batak yang bisa menjadi seorang Parhata sangat sulit ditemukan. Berbagai faktor menjadi penyebabnya antara lain ketidak mampuan berbahasa batak dengan fasih,pengetahuan akan adat istiadat batak kurang dimengerti, ketidakfasihan dalam marumpasa dan satu faktor yang paling penting adalah faktor mental untuk berbicara mewakili satu pihak di muka umum. Oleh karena kesulitan mendapat Parhata saat ini, sering terjadi dalam suatu upacara adata membawa Parhata yang bukan bagian keluarga dekat mereka lagi. Bahkan tidak jarang suku batak yang ada di kota membawa Parhata bukan bagian dari keluarga atau marga mereka. Hal ini memang bisa dipengaruhi jumlah marga yang terbatas.

Saat ini, karena keterbatasannya maka muncullah Parhata-parhata yang masih tergolong muda untuk usia seorang Parhata. Karena Parhata pada umumnya adalah mereka yang sudah berumur. Tutur kata yang santun sudah tidak seindah tutur kata yang dahulu lagi. Umpasa-umpasa yang adapun semakin di modernkan walaupun sebenarnya masih lebih enak di dengar umpasa-umpasa yang dahulu. 
Kedudukan dalam upacara adatpun menjadi suatu hal yang sangat sulit diputar. Pada dasarnya tidak ada yang abadi menjadi hula-hula atau hasuhuton. Dalihan Na Tolu itu adalah segitiga yang saling berhubungan dan pada saat-saat tertentu letaknya bisa dirobah tetapi bentuknya tidak akan berubah karena yang berubah hanyalah posisi.
Hal inilah yang sulit untuk dipahami pada saat ini. Parhata pihak Hula-hula sering berbicara terlalu keras dan cenderung mempertahankan pendapat karena memang posisinya yang lebih ditinggikan walaupun pihak Hasuhuton sudah memohon atau "marsomba". Pemahaman Dalihan Natolu itu saat ini sepertinya sudah di lihat pada waktu upacara adat itu saja. Dan ini sangat dipengaruhi oleh Parhata dari kedua belah pihak.
Dibalik semua itu, memang masih ada Parhata yang benar-benar mampu memahami tata letak dan bentuk Dalihan Natolu itu. Semoga Parhata suku batak semakin bisa menjadi penghubung yang baik bagi pihak-pihak yang diwakilkan.

Horas....Tu 'Parhata' Halak Batak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar